MAMA & BUNGA MAWAR

BUNGA MAWAR MAMA


Aku adalah dua bersaudara dengan adikku, yang juga perempuan. Papa meninggal pada usia yang masih muda. Waktu itu aku masih duduk di bangku SMP dan adikku kelas 6 SD.
Aku ingat, waktu itu baru sehari Papa pulang dari cek jantung. Papa memang mengidap penyakit jantung koroner, namun enggan untuk operasi. Ketika Papa hendak masuk kamar mandi, tiba-tiba Papa jatuh. Kepalanya membentur dinding lalu lantai. Rasanya aku mau pingsan melihat kondisinya yang berdarah-darah. Papa tak bergerak lagi.

Papa Tiada
Ketika dilarikan ke rumah sakit, Papa tidak tertolong lagi. Menurut dokter, Papa terkena serangan jantung, dan itu yang menyebabkan beliau wafat. Bukan karena jatuh dan terbentur.
Mama shock sekali. Aku tahu mereka pasangan yang serasi dan saling mencintai. Papa sangat penuh perhatian pada Mama. Dan Mama juga memanjakan Papa. Mama seperti melupakan kami berdua, anak-anaknya. Hari-hari berkabung sangat lama. Mama menangis terus menerus dan tidak mau keluar dari kamar. Tidak mau makan, tidak mandi. Tubuhnya kurus kering. Dan ia termangu saja sepanjang hari.
Papa dan Mama memang tidak pernah berpisah lama. Kalau Papa dinas ke luar kota atau ke luar negeri, biasanya Mama juga ikut, meski itu berarti harus membayar tiket sendiri. Mama adalah anak tunggal.
Ketika hampir sebulan Mama tidak mengubah kebiasaannya, Oma dan Opa datang dan menemani kami. Opa menyarankan agar Mama kembali bekerja, agar hatinya terhibur. Dulu Mama pernah menjadi sekretaris di sebuah perusahaan swasta. Ketika menikah, Papa meminta Mama keluar dari kantornya.
Untunglah Mama menuruti kata-kata Opa. Lewat bantuan Opa, Mama kemudian bekerja sebagai sekretaris. Enam bulan kemudian Mama sudah kembali seperti dulu lagi. Ceria dan bersemangat.
Mamaku memang cantk sekali. Ia seperti putri kerajaan. Putih bersih dengan kulit yang sehat indah. Tinggi seperti model. Rambutnya ikal melewati bahu. Oma memang ada keturunan Belanda. Mama nampak awet muda. Kalau kami jalan bareng, teman-temanku mengira dia kakakku. Malah ada temanku yang dulu naksir dan tak percaya kalau itu adalah Mamaku.

Banyak Pelamar
Hanya 2 bulan setelah Mama bekerja, tiba-tiba saja rumah kami jadi 'ramai'. Artinya, ada tamu-tamu yang silih berganti berkunjung. Ada yang pakai Mercy, pakai BMW, ada yang naik motor. Ada yang sudah botak parah, ada yang ganteng kayak bintang film. Aku perhatikan, Mama sering nampak kebingungan menghindari mereka. Mama kadang menyempatkan diri untuk menemui mereka. Namun acap kali Mama memintaku untuk berbohong. "Kalau ada tamu, bilang Mama lagi pergi ya," pesan Mama. Mama lalu ngumpet di kamarku di lantai 2. Dua buah BB nya dimatikan.
Mama akhirnya berterus terang bahwa pria-pria itu adalah para tamu yang datang ke kantor. Rupanya mereka tertarik pada Mama. Dasar Mama yang polos, Mama selalu memberikan alamat rumah kalau ada yang memintanya. Untunglah Mama tidak membocorkan nomor telpon rumah kami, jadi kami tidak terganggu dering telpon.
Mama mengaku sudah beberapa kali menolak lamaran beberapa pria. "Mama tidak ingin menikah. Mama ingin menunggui kalian menemukan masa depan. Apapun yang terjadi, Mama tidak akan mengkhianati Papa."
Aku sungguh terharu dengan kesetiaan Mama. Bersama dengan adikku, aku berjanji untuk melindungi Mama. Suatu hari, Mama pulang malam. Ada mobil yang mengantar tetapi tidak mampir. Mama membawa buket bunga yang kemudian ditaruh di vas. Bunga mawar yang kuntumnya besar-besar. Indah sekali. Mama langsung tidur tanpa makan malam bersama seperti biasanya.
Dan sejak itu, aku dan adikku menandai ada perubahan yang besar pada Mama. Entah kenapa ia jadi sangat pesolek, maksudku, biasanya memang ia dandan kalau pergi kerja. Namun yang sekarang dandannya lebih ekstra. Kadang ia termangu dan senyum-senyum sendiri, seakan ada yang dirahasiakannya. Ia jadi sering pulang larut karena ada acara di luar yang harus dihadirinya. Perhatiannya kepada kami berdua jadi berbalik 180 derajat.
Lalu suatu saat waktu pulang malam-malam, Mama masuk ke kamarku. "Akhirnya dia melamar Mama. Mama akan menikah minggu depan."
Pernyataan itu sangat mengagetkan kami. Adikku sampai ternganga karena tak percaya. Bagaimana mungkin, tanpa tahu siapa orangnya, Mama langsung menerima lamaran seseorang? Kan selama ini Mama sudah bertekad untuk tidak menikah lagi? Kalaupun Mama berubah pikiran, tentunya Mama akan membicarakannya dengan kami terlebih dahulu, anak-anaknya. Mama rupanya mengetahui perasaan kami.
"Mama ketemu dengan seseorang yang mirip banget sama Papamu. Suaranya, wajahnya, postur tubuhnya, bahkan sikapnya. Sama persis. Mama seperti menemukan Papa kembali. Mama harus menikah dengannya."
Kaget sekali aku. Bukannya aku tak setuju, kalau memang Mama ingin menikah tentu saja aku dan adikku mendukung. Masalahnya, calonnya itu sama sekali belum pernah dipertemukan dengan kami. Siapakah dia, bagaimana status pernikahannya dan seperti apa karakternya, masih gelap untukku. Dan belum-belum, Mama sudah bilang kalau setuju menikah dengannya. Rasanya sikap Mama yang biasa teratur, hati-hati dan terencana, jadi berantakan. Apakah ini karena dia sedang jatuh cinta?

Membuang Bunga Hadiah
Dan akhirnya aku bisa membujuk Mama untuk mempertemukan kami dengan calonnya. Aku agak lega. Dan sore itu, begitu masuk rumah, Mama segera memburuku. "Ayo cepat dandan, Mama akan mempertemukan kalian dengan calon Papamu." Wajahnya berseri-seri. Sebenarnya aku lelah sekali. Tetapi melihat Mama yang berbinar-binar penuh semangat, aku tak tega untuk menolak. Camry di halaman itu ternyata dikirim untuk menjemput kami.
Ketika kami bertiga meluncur ke hotel tempat pertemuan, Mama nampak sangat bahagia. Ia berdandan cantik sekali. Matanya nampak kalau tengah jatuh cinta. Aku membayangkan tentu calonnya setara dengan Papa hingga Mama nampak tergila-gila.
Di hotel, Mama menggiring kami ke restoran yang mewah. Begitu kami memasuki resto, seorang pria nampak berdiri dari kursinya. Dia menunggu kami menghampirinya. Dia membawa buket dengan mawar yang kuntumnya besar-besar. Seperti selama ini yang dibawa Mama pulang.
Pria itu menyapa kami dan memberikan buket itu pada Mama. Mama tersipu-sipu dan merona merah wajahnya. Mama tengah jatuh cinta. Aku tak bisa bernafas karena tak percaya. Dan bukan cuma aku, adikku demikian juga. Ia berbisik. "Nggak salah nih Mama?"
Maaf, bukan melecehkan, namun yang aku temui adalah pria tua hampir 70-an, perutnya buncit hingga Ia agak kesulitan berjalan. Rambutnya jarang dan lebih banyak botaknya. Pipinya menggelambir. Tapi yang lebih membuatku takut, matanya seperti menyimpan kelicikan. Jantungku berdebar-debar. Ada yang tidak beres, tetapi aku tidak tahu apa.
Aneh sekali kalau pria ini dimata Mama, persis Papa. Papa yang tinggi, atletis, ganteng dengan rambut hitam tebal serta alis tebal dan senyum yang manis.
Kami makan malam. Dan aku langsung muak, saat sepanjang makan malam itu, pria botak itu hanya bercerita tentang kesuksesannya, perusahaannya, apartemen-apartemen mewah yang dimilikinya dan mobil-mobil mewahnya. Ia tidak memiliki atensi pada orang lain kecuali pada dirinya sendiri. Matanya terlihat licik. Dan aku tak suka cara ia memandang Mama, aku dan bahkan adikku. Seakan ia ingin melahap kami.
Ketika kami selesai makan pun, aku yakin ia sama sekali tak tahu siapa namaku dan nama adikku. Ia hanya peduli pada dirinya sendiri. Aku heran, apa yang dilihat Mama pada pria ini. Kekayaannya? Sepertinya Mama bukan tipe semacam itu. Kami sudah hidup cukup dari apa yang telah ditabung Papa. Dan kami bukan keluarga yang senang hura-hura. Aku dan adikku merasa berkecukupan.
Pulang dari acara perkenalan itu, aku dan adikku lalu sepakat untuk bercerita pada Oma dan Opa. Malam itu juga aku menelpon dan menceritakan hal yang mencurigakan itu.
Besoknya sewaktu aku belum berangkat kuliah, Oma dan Opa sudah datang dengan penerbangan pertama. Mama sendiri sudah berangkat ke kantor pagi-pagi. Oma dan Opa mendengarkan ceritaku. Lalu masuk ke kamar Mama. Oma menanyakan darimana bunga mawar yang ada di kamar Mama. Aku bilang bahwa beberapa hari sekali, Mama membawa pulang bunga. Mungkin bunga itu dari pria botak yang juga memberikan bunga yang sama saat kami makan malam bersama.
Oma lalu menelpon seseorang, entah siapa. Kemudian mengambil bunga itu dan menyuruh Bik Mina membuangnya di tong sampah. "Kita harus menjaga agar Mama tidak bawa pulang bunga. Kalau dia bawa pulang bunga, segera buang ya," pesan Oma.
Mama senang sekali waktu pulang dari kantor dan bertemu Oma dan Opa. Anehnya, ia sama sekali tidak menceritakan perihal rencana pernikahannya dengan pria botak tadi. Ia seakan lupa. Oma dan Opa juga tidak bertanya. Waktu keesokan harinya, Mama membawa bunga lagi, Oma segera merebut bunga itu. "Ini Opa lagi alergi bunga, nanti bersin melulu, mana aku urus saja," kata Oma yang segera menyuruh bibik membuangnya jauh-jauh keluar rumah.
Dua kali hal itu terjadi, dan sesudah itu Mama tidak pernah membawa bunga lagi. Ia tidak lagi pulang malam untuk acara-acara yang bukan acara kantornya. Dia kembali seperti Mamaku yang dulu.
Suatu saat, aku iseng bertanya pada Mama, "Apa Mama pernah ketemu seseorang yang persis Papa? Lalu mengajak menikah?"
Mama memandangku dengan heran, "Kok kamu tahu?" Justru aku yang lebih heran lagi. "Mama pernah ketemu. Orangnya persis Papa. Tapi nggak tahu kenapa dia tidak muncul lagi. Malah Mama diuber-uber sama pria tua yang botak, perutnya buncit dan nggak tahu malu. Tiap kali nelpon, tiap hari nunggu Mama pulang kantor. Ih, Mama ngeri..." katanya, "Mana mungkin Mama menikah lagi. Mama kan setia pada Papamu. Mama nggak akan menikah lagi. Mama sudah bahagia menunggu kamu dan adikmu jadi orang," kata Mama.
Rasanya tak masuk diakal. Tetapi menurut Oma dan Opa, Mama terkena guna-guna lewat buket bunga itu. Mama melihat pria botak itu tampil seperti almarhum Papa. Dan ia seperti amnesia, tak bisa mengingat apa-apa tentang pria botak itu.
Aku tak tahu apakah hal itu benar atau tidak. Namun sejak kami membuang kiriman bunga untuk Mama itu, Mama jadi kembali seperti sediakala. Mudah-mudahan hal yang tak masuk di akal ini tidak terjadi lagi. 
            

































   

0 komentar:

Random Post